Maslahat

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Maslahat adalah kalimat serapan dari bahasa Arab yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan.[1] Dalam termonilogi Arab, maslahat artinya sesuatu yang dapat menimbulkan kebaikan atau sesuatu yang didapatkan seseorang dari perbuatan yang dapat memberi manfaat kepadanya maupun kepada kaumnya.[2] Kebalikan dari maslahat adalah mafsadat; yaitu kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang (kelompok) karena perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum.[3]

Abdul Wahhab Kholaf menguraikan bahwa di antara 6.000 ayat dalam alquran terdapat 228 ayat yang secara khusus berkenaan dengan hukum muamalat atau relasi antar sesama manusia. Mulai dari hukum keluarga, hukum pekerjaan sipil semisal jual beli dan lainnya, hukum pidana, hukum pengaduan dan gugatan, hukum konstitusional, hukum internasional, hingga hukum perekonomian dan keuangan. Ini membuktikan bahwa agama Islam mempunyai perhatian besar terhadap aturan bersosialisasi antar manusia yang tak lain dibuat agar tercipta kondusifitas dalam bermuamalah.[4]

Hampir seluruh ayat yang berkenaan dengan hukum muamalat ini merupakan dalil yang berisi kaidah-kaidah umum dan dasar karena hukum-hukum tersebut senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan lingkungan dan kemaslahatan sekitarnya, sehingga Al-quran memberikan peluang kepada para pemilik otoritas hukum untuk men-­tafshil hukum yang ada sesuai dengan kemaslahatan yang tepat saat itu tanpa keluar dari koridor atau batasan Alquran yang telah ditetapkan.[5] Dalam menyesuaikan hukum yang ada inilah diperlukan pertimbangan yang adil dan bijaksana bagi semua pihak tanpa ada yang dirugikan. Adapun neraca pertimbangan yang digunakan adalah implikasi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkan dari kebijakan hukum yang akan diterapkan.

Maslahat dan mafsadat merupakan orientasi utama dalam mempertimbangkan suatu hukum. Hasil penelitian ulama terhadap nash-nash umum (nushush ‘ammah) yang berisikan prinsip umum pensyariatan hukum Islam serta penelitian terhadap ‘illat dan hikmah di balik penetapan suatu hukum menyimpulkan bahwa tujuan umum pembentukan hukum (maqashid syari’ah) adalah menolak masfadat serta mewujudkan kemashlahatan umat manusia.[6] Kemaslahatan tersebut meliputi kemaslahatan duniawi, spiritual, dan material yang hanya bisa dicapai dengan memperhatikan kebutuhan dan hak-hak mendasar (primer) manusia.

Dalam perkembangan ilmu maqashid terkini, kebutuhan dan hak primer manusia dikenal dengan sebutan adhdharuriyyat assittah yang berisi tentang: hak agama, beragama, dan berkeyakinan; hak hidup dan berkehidupan yang layak; hak keturunan, memiliki keturunan, dan membina keluarga yang baik; hak akal, pemikiran, ide/gagasan, dan mengajukan pendapat; hak kehormatan dan kemanusiaan; hak finansial dan kekayaan alam.[7] Enam kebutuhan dan hak inilah yang harus diperhatikan dalam menerapkan hukum syar’i kepada para mukallaf selaku subjek hukum, termasuk perempuan. Oleh karena itu, jika ada sebuah aturan yang memberatkan kaum perempuan maka peraturan tersebut tidaklah sejalan dengan maqashidu asy-syari’ah.

Perempuan berhak hidup dengan layak, memiliki keturunan, mendapatkan kesempatan membina keluarga yang bahagia, beraspirasi menyuarakan pendapatnya, berkarir, mandiri finansial, berpolitik, hingga menjadi pemimpin. Maka tak sepatutnya perempuan dihalang-halangi untuk mendapatkan hak-haknya tersebut dengan semisal menjadikannya korban tindakan FGM (Female Genital Mutilation), aksi poligami, KDRT, subordinasi dan stigmatisasi lainnya, apalagi menggunakan dalih perintah agama atau syariat. Perlu diingat bahwa sesungguhnya dasar dan pondasi syariat itu sendiri adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, baik di kehidupan dunia maupun akhirat. Syariat seluruhnya adalah keadilan dan kebijaksanaan. Oleh karenanya, setiap hal yang keluar dari keadilan menuju kelaliman, dari rahmat menuju sebaliknya, dari kemaslahatan menuju kemafsadatan, dan dari kebijaksanaan menuju kesia-siaan maka ia bukan termasuk syariat meskipun terdapat takwil di dalamnya.[8]


Penulis: Nurun Sariyah


  1. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
  2. Larrouse, Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, Daar El-Machreq, Beirut, 2005, hal. 432
  3. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
  4. Abdul Wahhab Khollaf, ‘Ilmu Ushuli Al-Fiqh, Daar Al-Qolam, Kuwait, hal. 32-33
  5. Abdul Wahhab Khollaf, ‘Ilmu Ushuli Al-Fiqh, Daar Al-Qolam, Kuwait, hal. 33-34
  6. Khoiruddin Habziz, Simpel dan Mudah Menguasai 125 Kaidah Ushul Fiqh, Tanwirul Afkar, Situbondo, hal. 143
  7. Ibnu ‘Asyur, Maqashidu Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Daar As-salam.
  8. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi Al-‘Alamin, juz 4, hal. 337